Ketua Ikatan Guru Indonesia Satria Dharma menyatakan Ikatan Guru Indonesia adalah organisasi profesi seperti yang telah diatur dalam UU Gusu dan Dosen (UUGD). IGI fokus melaksanakan visi dan misinya untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme guru. "Tidak boleh ada yang menyeret guru untuk kepentingan politik sesaat dalam pemilihan bupati, wlaikota, gubernur atau capres. IGI tidak akan berpolitik praktis," tegas Satria Dharma, Rabu (1/5) hari ini.
Satria menegaskan siapa pun pengurus IGI yang terjebak dan terlibat dalam politik praktis, menjadi anggota partai politik, mendukung salah satu kontestan dalam pilkada dan sejenisnya, harus segera mengundurkan diri. "Pengurus IGI tidak boleh berpolitik praktis dan bila terlibat mereka harus mengundurkan diri atau kami mundurkan. Ini garis dan ketentuan organisasi," tegas Satria.
Penegasan Satria ini diungkapkan sebagai antisipasi atas maraknya pilkada akhir-akhir ini. Sebagai upaya pencegahan, IGI harus sejak awal membentengi diri dari tarikan-tarikan politik kekuasaan. Bagi Satria, guru merupakan profesi yang mulia yang diharapkan bisa mengayomi semua, mendidik, dan memberikan pencerahan kepada anak didiknya dan kepada masyarakat. Guru tidak boleh bersekutu pada salah satu golongan dan memushi golongan lainnya. "Kami menjaga agar profesi guru tetap terhormat dan mulia," tandasnya.
Tarikan agar IGI terlibat ke dalam kancah politik memang mulai dirasakan. Di Lamongan Jawa Timur beberapa hari lalu (16/5) sempat terjadi. Sekretaris IGI M. Ihsan menyatakan, dalam sebuah acara di Lamongan yang diselenggarakan IGI tiba-tiba muncul spanduk raksasa calon bupati Lamongan. "untungnya saya datang sebelum acara dimulai. Spanduk itu langsung saya minta agar dicopot. IGI tidak boleh dibawa ke arena politik seperti ini,' tegas Ihsan.
Di kota lain, tambah Ihsan, IGI sempat kecolongan. Maksud hati panitia seminar mengundang pejabat agar pemkot atau pemprov ikut memajukan kualitas guru di daerahnya, tba-tiba di atas panggung, di sela-sela sambutannya, sang pejabat mengkampanyekan pencalonan dirinya dalam Pilkada dan bahkan secara vulgar meminta guru mencoblos dirinya. "Kejadian ini kemudian saya netralisasi bahwa IGI tidak berpolitik praktis dan tidak boleh ada yang menyeret guru ke ranah politik kekuasaan seperti ini," tandasnya.
IGI, menurut Ihsan, memutuskan tidak bergerak dalam tataran politik praktis. IGI memfokuskan kegiatannya pada upaya-upaya peningkatan kompetensi guru. "Siapapun yang bergabung dengan IGI, haruslah dengan kebesaran hati menanggalkan atribut politiknya. Jangan sampai guru dan IGI diseret ke tataran politik praktis,' tambahnya.
Ihsan membayangkan, dengan ratusan kali Pilkada pada tahun 2010 ini, jika IGI terlibat dalam politik praktis, potensi terjadi gesekan antarguru besar sekali. Saling mendukung kontestan pilkada yang berbeda. Saling bertikai untuk hal yang sama sekali tidak ada urusannya dengan peningkatan mutu guru. "Kami ingin mencegah agar tidak terjadi,' tuturnya.
Dalam banyak pilkada, guru selalu menjadi incaran kandidat kontestan karena guru bisa melakukan penetrasi ke calon pemilih pemula dan keluarganya. Jumlah guru sekarang 2,7 hingga 3 juta orang. Pemilih pemula adalah siswa sekolah yang jumlahnya jutaan. Angka ini memang sangat empuk sebagai ajang untuk menangguk suara.
Selasa, 18 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar