Senin, 24 Mei 2010

TUGAS MENKEU BARU: BERESKAN !!! DESENTRALISASI FISKAL SEMU, Ajang Lobby Elit dan Daerah

TUGAS MENKEU BARU:

BERESKAN !!! DESENTRALISASI FISKAL SEMU,

Ajang Lobby Elit dan Daerah

Terlepas dari dinamika politik yang melatarbelakanginya , Kamis 21 Mei 2010 Menteri Keuangan baru Agus Martowardjojo resmi menjadi anggota KIB II. Menkeu sebelumnya, dianggap beberapa kalangan telah berhasil meletakan fondasi reformasi birokrasi di sektor keuangan. Meskipun Presiden SBY, memberikan salah satu instruksi kepada MenKeu baru untuk mengembangkan kebijakan desentralisasi fiskal yang lebih luas. Namun, Jika dilihat dari kebijakan anggaran saat ini, desentralisasi fiscal, masih sebatas jargon politik kosong untuk menarik simpati daerah. Persoalannya, sebagai Negara menganut otonomi daerah, system anggaran saat ini belum mendukung tujuan otonomi daerah mendekatkan pelayanan publik untuk kesejahteraan rakyat.

Hal ini dapat tergambarkan dari belanja Negara kita yang meningkat 121% dari tahun 2005 sebesar Rp. 509,6 trilyun menjadi Rp. 1.126 trilyun pada APBNP 2010. Namun peringkat Indeks Pembangunan Manusia kita terus terpuruk, Tahun 2006, Indonesia berada di peringkat ke-107, merosot ke peringkat ke-109 pada tahun 2007-2008, dan pada 2009 menjadi peringkat ke-111. Bahkan lebih buruk dari peringkat Palestina (110) dan Sri Lanka (102) yang sedang dilanda konflik. Hal ini menunjukan besarnya peningkatan belanja Negara tidak mengalami dampak terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia, dikarenakan praktek desentraslisasi fiscal semu, seperti yang diidentifikasi Seknas FITRA sebagai berikut:

1. APBN Terus Naik, Porsi Belanja Daerah Stagnan. Pada setiap pengajuan anggaran Pemerintah selalu mengklaim anggaran ke daerah terus ditingkatkan, bahkan pada tahun 2010, pemerintah mengklaim telah meningkatkan anggaran transfer ke daerah 2 kali lipat lebih, dari Rp. 150,4 trilyun pada tahun 2005 menjadi Rp. 344,6 trilyun pada APBN-P 2010. Namun sebenarnya dibandingkan belanja Negara yang terus meningkat, proporsi belanja transfer ke daerah stagnan dikisaran 30% dari total belanja Negara. Jika porsi anggaran ke daerah masih kecil, tidak mengherankan berapapun besarnya kenaikan APBN tidak akan mampu membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah.

2. Dana Liar Ke Daerah, Tumbuhkan Calo Anggaran. Pada APBN-P 2010 perubahan anggaran transfer ke Daerah yang paling siginikan mengalami kenaikan adalah dana penyesuaian, sebesar Rp. 13,8 trilyun, sehingga menjadi Rp. 21,1 triliyun atau setara dengan DAK. Sementara Dana Perimbangan, hanya meningkat Rp. 3,8 Trilyun , yakni pada Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Dana penyesuaian pada awalnya digunakan untuk menampung dana kurang bayar dana perimbangan, namun sejak tahun 2008 dana penyesuaian juga digunakan untuk menampung dana non hold harmless, serta program-program adhoc . Tahun 2008 dikenal istilah DISP (Dana Infratruktur Sarana dan Prasarana), tahun 2009 menjadi Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF PPD) dan pada tahun 2010 ditambah lagi komponen Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD), Dana Percepatan Infrastruktur Pendidikan (DPIP). Dana-dana infratruktur ke daerah ini jelas telah menyalahi UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Karena komponen dana perimbangan yang dikenal dalam UU ini adalah DAU, DBH dan DAK. Serta Dana Otonomi Khusus, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Ketidakjelasan formula penentuan daerah yang memperoleh DPDF PPD dan DPIPD akan menjadi lahan baru bagi calo-calo anggaran di DPR dan Pemerintah untuk menjual kewenangannya kepada Daerah yang menginginkan pengucuran dana ini. Persoalan ini sempat mencuat, ketika DPR Komisi XI merasa berjasa mengoptimalisasi penerimaan pajak dan merasa berhak meminta anggaran Rp. 2 trilyun untuk dikucurkan ke daerah pemilihannya. Hal ini semakin menunjukan kekuatan lobby politik menjadi penentu daerah memperoleh kucuran anggaran, ketimbang kebutuhan prioritas daerah. Tidak mengherankan jika otonomi daerah tidak mampu menjadi pendongkrak kesejahteraan rakyat daerah, dengan pola penganggaran seperti ini.

Tabel. Tambahan Dana Penyesuaian Pada APBN P 2010, Rawan Calo Anggaran

(milyar)

No

Dana Penyesuaian

APBN

APBN-P

Selisih

1

Tambahan Penghasilan Guru PNSD

5.800,0

-

-

2

Dana Insentif Daerah

1.387,8

-

-

3

Kurang Bayar DAK

80,2

-

-

4

Kurang Bayar DISP

32,0

-

-

5

DPDF-PPD

-

7.100,0

7.100,0

6

DPIPD

-

5.500,0

5.500,0

7

DPIP

-

1.250,-

1.250,-

Totak

7.300,0

13.850,-

21.150,-

Sumber : Seknas FITRA, Diolah dari Laporan Panja Banggar Transfer Ke Daerah (28 April 2010)

3. Urusan Tanpa Anggaran. Pada UU 32 tentang pemerintah Daerah, secara tegas Pemerintah menyerahkan 16 urusan yang menjadi wewenang Pemerintah Daerah. Curangnya, penyerah urusan yang menjadi wewenang daerah ini tidak disertai pendanaan yang memadai. Dalam APBN, Pemerintah berkilah, meskipun dana transfer ke daerah hanya 30%, namun sebanyak 30% anggaran belanja pusat juga dibelanjakan ke daerah. Seperti Dana Dekonsentralisasi, tugas pembantuan, dana vertical, belanja subsidi, PNPM, Jamkesmas, dan BOS. Padahal pada pasal 108 UUNo. 33 tahun 2004 menyatakan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah secara bertahap dialihkan menjadi DAK. Namun Pusat tetap tidak rela menjadikan dana Dekon dan TP menjadi DAK, pasalnya PP yang mengaturnya baru diterbitkan 4 tahun kemudian pada PP No 7 tahun 2008. Dan inipun masih diatur secara bertahap pengalihannya. Ini menggambarkan Pemerintah Pusat tidak memiliki komitmen sungguh-sungguh dalam menerapkan desentralisasi fiscal semu.

4. Daerah Hanya Tukang Catat Anggaran. Meskipun daerah diberikan urusan yang menjadi kewenanganya disertai desentralisasi fiscal, namun sebenarnya urusan yang diberikan ke Pemda adalah urusan semu. Karena pada prakteknya desentralisasi fiscal ke daerah telah ditentukan peruntukan alokasi anggarannya oleh Pemerintah dan Kebijakan Pusat. Dari hasil studi Seknas FITRA, rata-rata daerah menghabiskan 80% DAUnya untuk membayar gai Pegawai. Sementara DAK, sudah ditentukan peruntukannya, bahkan daerah juga diwajibkan memberikan 10% dana pendamping Daerah juga diharuskan mengalokasikan 20% anggaran untuk pendidikan, dan 10% untuk Kesehatan. Sementara tidak banyak daerah yang memiliki tumpuan dari DBH, kecuali daerah perkotaan dan penghasil Sumber Daya Alam. Daerah juga dipaksa yang untuk mengalokasikan Dana Daerah Urusan Bersama (DDUB) sebagai pendamping PNPM yang besarnya antara 10-50% dari dana PNPM yang diterima. Padahal, PNPM bukan merupakan bentuk dana perimbangan maupun dekonsetrasi dan tugas pembantuan. Artinya PNPM juga telah melanggar azas dana perimbangan pada UU 33/2004. Praktis, sebenarnya daerah tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan kebijakan alokasi anggaran atau sekedar tukang catat anggaran yang masuk ke APBD-nya.

Dari persoalan desentralisasi fiscal semu ini, Menteri Keuangan harus menetapkan desentralisasi fiscal sebagai prioritas reformasi sector keuangan. Desentralisasi fiscal yang menyeluruh dan berkeadilan harus dijadikan instrumen penggunaan belanja Negara dalam mensejahterakan rakyat. Oleh karena itu FITRA menuntut, Menteri Keuangan:

1. Menertibkan dana-dana liar yang mengucur ke daerah yang tidak sesuai dengan azas perimbangan keuangan, karena akan hanya akan dijadikan ajang garapan para calo anggaran antara elit DPR, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

2. Merumuskan system perimbangan keuangan yang berkeadilan dengan mengajukan perubahan UU perimbangan Keuangan Pusat Daerah dengan memberikan kewenangan fiscal yang lebih luas dan alokasi yang lebih besar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar