Totalistasnya dalam menggeluti bidang desain memang tak main-main. Kegagalannya tak membuat dirinya menyerah begitu saja. Lenny Agustin sempat mengalami jatuh bangun berkarir. Berikut kami sajikan perjalanan karir Lenny sampai sesukses sekarang.
Tampil mewakili Indonesia di Japan Fashion Week merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Belum lagi penghargaan lainnya yang pernah diraihnya. Dari Kantor Berita Antara, Lenny terpilih sebagai The Most Outstanding Women of the Year. Blacberry Indonesia juga menyatakan apresiasinya dan memilih Lenny sebagai salah satu anak muda yang mengangkat budaya Indonesia.
Tahun ini, ia mendapat penghargaan sebagai sebagai Desainer Masa Depan dan Upcoming Desainer dari Majalah A+beberapa waktu lalu. Ia juga dianggap sebagai 1 dari 5 wanita yang berprestasi di bidangnya versi Majalah Chic.
Berbagai penghargaan tak membuat Lenny berhenti berkarya. 4 brand nya bertajuk Lenny Agustin, Lenny Agustin Bridal, Waw, dan Lenoor mulai dikenal masyarakat.
Ia juga disibukkan dengan berbagai aktivitas disamping menjadi desainer. Lenny aktif dalam organisasi APPMI sebagai bendahara. Ia juga menjadi dosen di dua universitas bergengsi.
Semuanya ini tak menjadikannya puas. Lenny masih ingin mereknya dikenal sampai tingkat dunia.
Senang menjahit sejak kecil
Hobinya membaca buku cerita dan pengamatannya terhadap kedua kakak-kakaknya yang telah beranjak remaja mungkin yang menjadikan Lenny terinspirasi untuk menggeluti dunia jahit-menjahit.
Ketika itu, Lenny gemar memperhatikan kedua kakak perempuannya tampil modis. Ia pun lalu tertarik untuk membuat baju boneka.
Wanita ramah ini juga membuatkan baju boneka untuk teman-teman rumahnya saat ia duduk di kelas 5 di SDN Simosidomulyo, Surabaya. “Waktu itu, saya dibayar pakai renda dan kancing. Selain baju boneka, saya juga sudah bisa bikin baju untuk anak-anak kecil” kenang putri dari pasangan alm Qesman Effendi dan Siti Alinafiah itu.
Hal tersebut berlanjut hingga ia duduk di bangku kelas 1 SMPN 7 Surabaya. Anak ke 7 dari 9 bersaudara tersebut sangat tertarik dengan pelajaran tata busana. Ketika itu ia mendapat tugas untuk membuat baju anak-anak.Waktu itu mati lampu. Namun kegigihan Lenny untuk mengikuti pelajaran tersebut membuat bajunya berhasil dikerjakan sendiri. Padahal ketika itu, ia hanya bermodalkan jarum dan benang saja.
Usai SMP, Lenny pun meneruskan sekolahnya di SMEAN 2, Surabaya. Tahun 1992 ia masuk kuliah di ISWI, Jakarta.
Lenny memang mengalami masa penyesuaian yang cukup panjang dengan kuliahnya di semester pertama. Dirinya sempat sakit-sakitan. Ia pun mengalami masalah dalam bergaul. Namun Lenny tak patah semangat.
Kuliah Lenny pun berantakan di semester pertama. Walaupun ia senang menjahit dari kecil, namun untuk membuat pola Lenny belum berpengalaman. Karena ia tidak memiliki basic pengetahuan membuat pola, Lenny pun empat failed untuk pelajaran tata busana.
Hal tersebut malah menjadikan dirinya ngeyel untuk meneruskan kuliahnya. Karena penasaran melihat teman-temannya bisa lulus, ia kemudian memutuskan untuk mengambil kursus menjahit di Singer untuk belajar membuat pola. Setelah kursus disana, ternyata ia berhasil mendapat nilai A. Namun dosen menurunkan nilainya menjadi B, karena hasil karya Lenny dicurigai buatan orang lain. Pasalnya ia sebelumnya gagal dalam mata kuliah tersebut.
Namun, ibu 3 anak tersebut tak patah semangat. Menurutnya nilai tak menjadi masalah, asal ia mampu untuk menjalankan pelajaran tersebut.
Sejak itu, nilai Lenny pun mulai menanjak. Ia pun sempat menjadi Ketua Senat selama 2 tahun.
Ingin total dalam menggapai cita-citanya sebagai desainer, Lenny pun meneruskan sekolah di Bunka School of Fashion tahun 1996, dan La Salle College, Jakarta di tahun 2000.
Menang kontes awal kebangkitan karirnya
Lulus kuliah, istri dari Sofian Susantio itu memutuskan untuk membuka butik kecil-kecilan. Ketika itu, ia memilih salah satu rumah di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Dengan modal sendiri. Lenny memiliki 2 orang tukang jahit, seorang tukang pola, dan satu orang bagian finishing.
Ketika itu tak banyak yang berkunjung ke butiknya. Penghasilannya pun hanya sekitar 150 ribu per piece baju.
Tahun 2003, ia memberanikan diri untuk ikut lomba baju pengantin di sebuah majalah. Tak disangka, Lenny ternyata berhasil menjadi Juara Pertama. Dari situlah, ia kemudian berani untuk mendesain baju pengantin.
Tak berapa lama kemudian, Lenny pun diminta untuk mendesain kebaya untuk dijadikan booklet di salah satu majalah.
Dari situ, ia mulai kebanjiran pelanggan. Kebanyakan ingin memesan kebaya. Dari 150 ribu, kebaya Lenny kini bisa bernilai jutaan rupiah.
Kini ia memiliki 4 brand dengan sekitar 30 pegawai. 1 brand Lenny, yang bernama Lenoor memiliki pegawai 100 orang. Lenoor merupakan proyek join Lenny dengan dua brand lain.
Pantang mundur dan total jadi kunci keberhasilan
Kini Lenny berhasil menggabungkan budaya Indonesia untuk bisa dipakai anak-anak muda. Ia mengambil filosofi Viviane Westwood yang berhasil memadukan konsep seperti itu. “Dari baju yang beredar di lapangan, kita harus buat desain yang dua langkah ke depan.” Katanya.
Menurutnya profesi desiner layak dijadikan ladang pencaharian, karena di Indonesia, desainer masih sedikit peminatnya dibandingkan dengan jumlah penduduk sendiri.
Lenny pun tak setuju dengan orang yang hanya ingin terkenal karena profesi desainer.” Kalau baju kita ternyata diapresiasi masyarakat, dan dibilang terkenal, itu hanya bonus, karena saya total menjalankan kerjaan itu. Tapi kalau motivasinya menjadi desainer supaya terkenal, mending jadi artis saja” ungkapnya.
Untuk menjadi desainer, ia pun memberi tipsnya. Totalitas, konsistensi, focus, tanggung jawab, dan inovasi merupakan kunci kesuksesan menjadi desainer. “Kalau dia tidak bisa menguasai kerjaanya, akhirnya susah juga untuk sukses.” ujarnya.
Ok. Sukses buat Lenny Agustin !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar