Senin, 30 Januari 2012

Pentingnya Industri Alas Kaki Bagi Eddy Widjanarko

Prestasinya dalam mengembangkan dunia persepatuan di Indonesia sudah tak diragukan lagi. Minatnya terhadap dunia fashion dilakoni Eddy Widjanarko dengan sepenuh hati. Eddy sukses berkarir dengan semangat yang tinggi. Sehingga kurang lebih 27 tahun, Eddy berhasil dengan gemilang memajukan industri sepatu di Indoensia.

Beberapa merk sepatu Indonesia berhasil ia ekspor ke luar negeri. Katakanlah Barbie, Mickey dan Minnie Mousse, 9 Princess, dan Bubble Gummers dari Bata.

Alas kaki tersebut berhasil diekspor ke beberapa negara, seperti Inggris, Perancis, Italia, Belanda, Belgia, Swedia, Italia, Irlandia, Kanada, Mexico, Autralia, New Zealand, Malaysia, dan Thailand.

Karena hal itulah, ia lantas didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Persepatuan Indonesia.

Eddy optimis sepatu buatan Indonesia bisa dikenal hingga tingkat dunia. Ia bahkan mengatakan bahwa sepatu sudah menjadi jiwanya hingga saat ini.


Ingin memajukan industri persepatuan di Indoenesia

Sejak tahun 1996-2012, Eddy menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo). Telah banyak usaha yang ia rancang bersama Aprisindo. Diantaranya melakukan kerjasama dengan Italian Trade Comission untuk mendatangkan pelatih di bidang sepatu. Niatnya cukup tulus, Eddy ingin membantu para pengrajin Usaha kecil Menengah (UKM).

Lalu, bersama Aprisindo, ia juga melakukan kerjasama di bidang pembuka pola atau desain. Salah satunya, di Universitas Maranata, Bandung. Saat ini di universitas tersebut telah hadir kurikulum khusus yang mempelajari soal sepatu.

Belum lagi, lomba desain, yang Aprisindo adakan di Surabaya dan Jakarta untuk menjaring bakat-bakat para desainer. Bersama Aprisindo juga ia mengirim beberapa desainer ke Italia.

“Saya ingin sepatu kita itu betul-betul bisa menjadi tuan rumah di negara kita sendiri. Yang kedua, kita ingin desain sepatu kita bisa dikembangkan. Bahkan di Indonesia itu suatu saat ada yang go international. Seperti di Malaysia ada Jimmy Choo, dan di Jepang punya Kenzo.” Demikian harapannya.

Tampil eksentrik sedari kecil

Sedari kecil, Eddy memang kerap tampil eksentrik. Ia sering bergaya layaknya penyanyi punk dengan model rambut Mohawk. Eddy kecil juga hobi menggambar. Pelajaran menggambar tak pernah dilewatinya. Dari situlah, ia senang mencoret-coret model sepatu.

Namun bakat tersebut ternyata tak digelutinya secara serius. Lulus SMU, ia malah mengambil kuliah jurusan ekonomi di Manchester, Inggris. “Ekonomi membuat hidup kita lebih sejahtera.” Begitu alasannya ketika ditanya ketertarikannya terjun untuk menekuni kuliah ekonomi.

Menamatkan kuliah di Polytechnic of Economy di Manchester, Inggris, membuat pengetahuan Eddy terhadap dunia industri semakin kaya. Tamat kuliah, ia lalu bekerja di Pabrik Sepatu Bata sebagai Business Development Officer tahun 1983-1988. Setelah itu, ia bekerja di Pabrik Sepatu Adidas tahun 1988-1989. Di perusahaan sepatu Adidas, Eddy lantas menjadi pinonir pembukaan Adidas ekspor di Indonesia.

Pabriknya pernah terbakar dan didemo

Pada tahun 2000, Eddy mulai mendirikan pabrik sepatu di kawasan Surabaya. Ia memakai modal dari tabungannya selama bekerja, dan mendapatkan sedikit tambahan dari ayahnya yang seorang nelayan, dan ibunya yang menjadi guru.

Eddy membawahi sekitar 2700 karyawan di pabriknya. Meng handle begitu banyak orang bukanlah sesuatu hal yang mudah. Malah, Eddy pernah didemo para pegawainya.

Dengan sedikit kompromi, masalah itu akhirnya terselesaikan. “Ternyata apa yang saya lakukan itu menjadikan saya dekat dengan karyawan. Karyawan lebih sungkan. Ketika saya susah, mereka ikut susah, begitu pula sebaliknya.” Terang pria kelahiran 18 Agustus 1961 tersebut.
Eddy mengaku asset yang paling berharga di matanya ialah para karyawan.

Selain demo, Eddy juga pernah merasakan pahitnya menjadi pengusaha. Beberapa tahun lalu parbiknya pernah terbakar selama dua kali. Namun Eddy tak patah semangat. Garis polisi yang masih terpasang tak menghalangi niatnya untuk kembali membangun pabrik bersama para karyawannya.

Puing-puing bekas kebakaran ia singkirkan bersama karyawannya. Mesin-mesin pun ternyata tak ikut terbakar. Alhasil dalam waktu dua minggu, ia berhasil membangun kembali pabriknya. Dan para karyawan sudah dapat kembali bekerja.

Pahit getir lain dalam karirnya juga pernah ia rasakan. Diantaranya, beberapa kali ditipu oleh rekan terdekat, hingga menurunkan harga sampai titik terendah.

Jalan-jalan ke mall di sela waktu sibuk

Di sela-sela kesibukannya, Eddy kerap melaungkan waktu untuk hang out di mall. Di mall, ia bisa refreshing sekaligus melihat perkembangan tren sepatu terkini. “Saya suka hal-hal yang cantik, seperti penataan toko dan model sepatu terbaru.” Katanya ketika ditanya hobinya tersebut.

Hal lain yang bisa mengusir jenuhnya bekerja ialah dengan melihat karyawannya yang masih bekerja hingga larut malam. Melihat karyawannya bekerja merupakan kebanggaan tersendiri buatnya. Eddy merasa semangat setelah melihat karyawannya bekerja tak kenal lelah.

Selain itu, ia juga aktif mengisi waktu dengan ikut berorganisasi. Diantaranya sebagai Ketua Komite Tetap Perdagangan Luar Negeri di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Tahun ini, ia juga dipercaya menjadi International Director di Lions Club. Di sana, Eddy membawahi beberapa negara, seperti Indonesia, Australia, Papua Nugini, dan Fiji Island.


Sukses dengan bertahan di bidangnya

Ketika ditanya mengenai arti sukses, dengan terbuka Eddy mengatakan bahwa sukses adalah yang terpenting bisa bertahan dan masih bisa bekerja.

“Kesuksesan buat saya bukan diukur dari perusahaan itu besar atau tidak. Tapi sukses itu dilihat dari apakah kita masih bisa bertahan, masih bisa bekerja, dan masih berjalan dengan baik.” Ungkapnya.

Eddy tak ingin ditinggalkan oleh karyawannya. Karena ia merasa semua karyawan mau membelaanya dalam keadaan apapun “ Kalau saya dengar mereka jam 9 masih di kantor, itu saya merasa sukses sekali. Kok ternyata ada yang mau berkorban untuk saya.” Ungkapnya.

Ia juga merasa sukses lantaran model sepatunya masih laku terjual di pasaran. “Banyak orang yang lebih sukses dari saya, tetapi masih ada customer yang datang ke saya. Itu merupakan kepuasan tersendiri buat saya. “ katanya.

Untuk anda yang tertarik menggeluti dunia bisnis sepatu, berikut kiat Eddy, agar bisnis anda berjalan baik.

Menjadi orang yang aktif mengetahui susasana pasar, professional, fokus, dan selangkah lebih maju adalah resepnya.

Selasa, 17 Januari 2012

Fitria Yusuf, Dari Hobi ke Bisnis

Dunia fashion sepertinya menjadi panggilan jiwa seorang Fitria Yusuf. Setelah sukses menjadi fashion editor di beberapa media cetak, ia juga dikenal sebagai penulis buku. Fitria melengkapi dunia fashion nya dengan membuka butik. Seperti Ivy dan Twinkle-Twinkle. Belum lagi kesibukannya sebagai komisaris di PT Mitra Rajasa. Ingin tahu rahasia suksesnya?

Naluri fashionista Fitria mengalir dari sang bunda. Ketika masih kecil, sang ibu yang bekerja sebagai marketing di sebuah bank di Indonesia kerap mengoleksi majalah wanita.

Ketika ibu tak berada di rumah, Fitria penasaran ingin membaca dan melihat-lihat majalah yang dibeli ibunya. “Sebenarnya ibu saya tidak suka fashion, ia cuma suka membaca saja. “ ujar wanita kelahiran 9 Desember 1982 tersebut.

Jarak umur yang terpaut jauh dengan saudara laki-lakinya juga membuat Fitria merasa sendirian. Karenanya, Fitria memilih untuk membaca majalah sang ibu.

Setelah beranjak dewasa, Fitria malah mengambil kuliah jurusan Business Administration di GS Fame Institute of Business dari kurun waktu January 2002 hingga February 2004.

Lulus kuliah, ia diterima bekerja sebagai Assistant Brand Manager di PT Indofood Fritolay. Ketika itu, Fitria juga mendapatkan tawaran di Majalah Dewi sebagai promotion and marketing disana.

Namun, hobi menulisnya memang tak dapat dibendung. Fitria akhrinya mendapatkan tawaran menjadi fashion marketing editor selama dua tahun lamanya di majalah tersebut.

Dari hobi merambah ke bisnis

Hobi shopping, travelling dan menulis seputar fashion menelurkan sebuah ide untuk memiliki satu tempat khusus yang menyediakan kebutuhan bagi para fashionista.

Sebelum membuka butik, Fitria rajin menawarkan beragam busana ke rekan-rekannya, hingga terkumpul sedikit modal.

Maka, pada bulan September tahun 2006, Fitria membuka Ivy Boutique di bilangan Kemang, Jakarta Selatan.

Modal awalnya ia dapatkan dari tabungan pribadinya hingga meminjam sedikit uang dari sang ayah.

“Sebenarnya Ivy Boutique tercipta berkat kecintaan saya berburu atribut fashion.” Tuturnya.

Di Ivy Boutique, beragam apparel dan busana stylish yang wearable tersedia bagi para pecinta fashion. “Saya ingin menyediakan busana dengan kualitas bagus dan harga terjangkau.” Katanya.


Puas dengan aneka busana di butiknya, Fitria lalu ingin mengembangkan satu butik lagi. Tahun 2008 dibukalah Twinkle-Twinkle. Terinspirasi dari bling-bling nya Paris Hilton, Fitria membuka butik customized crystallized casing untuk smart phone dan lainnya.

“Kalau saya lihat, banyak produk seperti ini beredar di Amerika, tetapi harganya ratusan dollar. Dan jahitannya tidak rapi. Nah, disini, saya mengembangkan swarovski asli dengan material impor, dan memakai tim orang-orang Indonesia.” Jelasnya.

Kedua butik tersebut langsung diserbu para fashionista yang selalu haus akan tren teranyar. Tak heran, butik yang tadinya hanya terdiri dari beberapa karyawan, kedunanya kini berkembang menjadi sekitar 10 karyawan.

Bahkan, Ivy Boutique kini menempati salah satu department store di bilangan Senayan. Tepat di jantung kota Jakarta.

Busana dan aksesorisnya laris manis hingga diekspor ke luar negeri. Mulai dari Malaysia, Brunei, hingga Singapore.

Sukses dengan kedua lini fashion tersebut, Fitria masih disibukkan juga dengan menjadi komisaris di PT Mitra Rajasa, sebuah perusahaan penyedia jasa untuk industry pertambangan, yang merupakan rintisan sang ayah.

Di tahun 2008, ia dipercaya oleh ayahnya untuk ikut menyukseskan perusahaannya. Sebagai puteri pertama, Fitria bisa menjadi acuan bagi adik-adiknya.

Dari fashion, lalu terjun ke medannya pria, bukan tanpa kendala. Namun, Fitria selalu berusaha untuk terus belajar dengan ulet.

Seimbangkan fisik dan hati untuk raih kesuksesan


Tentang kesuksesan yang diraihnya, Fitria berpendapat bahwa kesuksesan lebih pada kebahagiaan di dalam hati.

“ Menurut saya sukses itu seimbang dalam fisik, dan hati. Apakah hati kecil sudah mengatakan puas atau belum.” Katanya.

Fitria selalu menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga. “Saya sukses bukan karena usaha saya, tetapi puji Tuhan, pekerjaan yang saya punya membuat saya masih bisa menyeimbangkan dengan keluarga.” Terangnya.

Bagi anda yang ingin sukses seperti Fitria Yusuf, ia memberikan tipsnya. Yang pertama, jangan takut untuk belajar hal baru, ulet, dan jangan takut salah.

“Jangan sampai kesalahan dan kekeliruan, serta kendala yang ada membuat kita sakit hati. Dengan demikian kita akan termotivasi.” Ucapnya.



Jumat, 13 Januari 2012

Profesionalisme Jenny Chang

Bagi Anda pecinta dan pemerhati dunia fashion Indonesia, pasti tidak asing lagi melihat wajah Jenny Chang.

Sejak terdaftar sebagai murid di SMU Wiyata Dharma Medan, Jenny sudah mulai tertarik di dunia modelling. Kala itu, ia ikut ekstra kulikuler yang berlawanan dengan dunia modeling, yakni basket. Bahkan, tim basket Jenny sempat menjadi nomor 1 di Medan. Guru ekstra kulikuler Jenny lah yang mendorongnya untuk mencoba dunia modeling. “ Waktu itu saya nggak pede, karena kalau model kan cewek banget, sedangkan saya dulunya tomboy.” kenangnya dengan logat Medan yang masih kental.


Di tahun 1999 merupakan awal Jenny melangkahkan kaki di dunia modeling. Guru ekstra kulikuler modeling semasa SMU yang mengajaknya terjun ke model. Ketika itu, ia mengajak untuk ikut fashion show baju pernikahan. Honor pertama yang ia dapatkan sejumlah 150 ribu rupiah. Jenny kemudian membelanjakan uang tersebut untuk membeli sepasang high heels warna hitam.


Setelah itu, Jenny pun makin sering tampil di ranah fashion. Ia rajin ikut ajang modeling. Jenny pun sempat masuk Elite model. Lalu ia menorehkan prestasi di ajang Model Indonesia yang digelar oleh Ramli Production pada tahun 2003 di Jakarta. Di situ, ia mendapatkan juara pertama dengan membawa pulang hadiah sepatu emas.

Namun selepas itu, Jenny tak melanjutkan karir modelnya, lantaran kedua orangtuanya tidak mendukung. Ia pun pulang ke Medan. Lalu Jenny hanya focus untuk show baju pernikahan saja.


Pada tahun 2006, Jenny bertemu dengan Damayona Nainggolan, pemilik Yayasan Putri Medan Metropolitan. Disana Jenny ditawari untuk menjadi pengajar. “Nah Mbak Yona bilang kalau saya punya potensi untuk ke Jakarta. Akhirnya saya ke Jakarta, dan dikenalkan dengan Keke Harun. “ tutur wanita kelahiran Medan 10 Agustus 1980 tersebut.


Akhirnya Jenny pun masuk Looks Model, salah satu agency yang dipimpin oleh Keke Harun. Sampai saat ini, Jenny pun terus aktif berlenggak-lenggok di panggung catwalk di bawah Looks Model ini.



Merambah ke film


Karir Jenny pun semakin cemerlang. Wajahnya makin ramai menghiasi sampul majalah dan billboard. Jenny pun semakin akrab dengan kalangan sosialita. Belakangan, wajahnya mulai merambah ke layar lebar.


Jenny kebagian peran di film May, yang edar pada 2008. Bersama Tutie Kirana, Tio Pakusadewo, Lukman Sardi dan Ria Irawan, Jenny mendapat lakon sebagai pemeran utama.


Mengenai karir barunya ini, lagi-lagi Jenny mengaku bahwa hanya kebetulan. Ketika itu, teman Jenny menawarkan padanya bahwa salah satu production house sedang membutuhkan pemeran dengan wajah oriental. Teman Jenny pun sudah ikut casting, namun sang suami tidak menyetujuinya, akhirnya ia lah yang mengajukan jenny sebagai pengantinya. Lalu Jenny pun lolos casting. “ Satu bulan kemudian, saya dikabari kalau ternyata terpilih. Setelah itu baru mulai syuting. “ jelasnya.


Tahun 2008, film tersebut amsuk dalam salah satu nominasi di ajang Festival Film Indonesia (FFI).Alumni STIE Harapan ini juga sempat menjajal acting dalam film Karma. Dalam Film berlatar belakang budaya Tionghoa ini, Jenny harus berperan antagonis dan berakting tanpa dialog.


Apapapun bidangnya, haruslah profesional


Untuk dunia modeling, Jenny menjanjikan bahwa profesi yang tengah dijalaninya hingga sekarang bisa dijadikan suatu profesi, layaknya dokter dan insinyur. “ Lumayan pendapatannya. Bisa untuk nabung buat masa depan. “tuturnya.


Rencana jangka panjang Jenny ialah mendirikan butik. “ Kalau jadi model kan terpatok dengan umur. Kalau sudah menikah, otomatis badan jadi membesar. Di model sudah tidak terpakai lagi, dari situ saya berpikir untuk mulai menabung, ingin buka butik. ” Kata pengagum Karenina, Arzetti Bilbina,dan Kimmy ini.

Ketika ditanya mengenai arti sukses, demikian komentarnya,” Kalau bicara sukses, orang tidak akan pernah puas, tetapi yang pasti saat ini saya sudah bisa mandiri menghidupi diri saya sendiri.” Ujarnya.

Sonia Wibisono, Mengawinkan Dunia Kedokteran dengan Entertainment

Jika anda kerap menonton acara kesehatan di televisi, pastilah tak asing dengan wajah cantiknya. Ia kerapkali akrab menemani pemirsa setianya lewat tayangan kesehatan di berbagai stasiun televisi. Gayanya yang santun dan pembawaanya yang ramah, membuat karir sang dokter makin menanjak. Ia kini berkarir sebagai dokter sekaligus presenter.

Sonia selalu dibiasakan untuk hidup sehat, rajin mencuci tangan, menjaga kebersihan, serta makan makanan bergizi. Ditambah lagi, kedua orangtunya berprofesi sebagai dokter umum. Ayahnya dr Idrian Wibisono, dan sang ibu (alm) dr.Lina Wibisono kerap memperkenalkan hal-hal yang berhubungan dengan kebersihan dan kedokteran.

Sonia memang ingin menjadi dokter sedari kecil. Pembawaannya aktif dan ceria menjadikan dirinya kerap bertanya. Sonia kecil selalu ingin tahu tentang segala hal. Inilah yang membuatnya bersikap kritis terhadap orangtunya.


Ketertarikannya berlanjut hingga ia duduk di bangku kelas 1 di SMP Tarakanita V, dirinya tak pernah melewatkan mata pelajaran biologi. “Saya sangat menyukai pelajaran biologi, karena menurut saya tubuh manusia dan cara bekerjanya sangat logic, sehingga mudah dicerna.” Kata istri Robert Adhi Wardhana tersebut.

Pada tahun 1995, Sonia kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jika sudah mengerjakan tugas yang kuliah, Sonia bisa lupa waktu. “Saya bisa asyik melakukan pembedahan (jahit menjahit luka). Ini merupakan salah satu hobi saya selama praktek di RSCM.” Jelas ibu dari Ramses Wardhana Hardjanto dan Rainier Wardhana Hardjanto ini. Tahun 2001 pun ia lulus menyandang gelar dokter.

Mengawinkan Dunia Kedokteran dengan Entertainment


Wanita mungil ini lantas merambah bidang yang sangat berbeda jauh dari kesehatan, yaitu dunia entertainment. Ia kerap mengikuti ajang pencarian bakat. Pada tahun 1992, Sonia menjadi salah satu finalis “Cover Model Contest” yang diselenggarakan salah satu majalah remaja ibukota. Di tahun 1994, Sonia berhasil menyabet gelar runner up di kontes pemilihan model yang diselenggarakan oleh Look’s agency. Lalu, pada tahun 2000, Sonia menjadi salah satu finalis Abang-None Jakarta Selatan.


Sejak itu, dirinya laris menjadi bintang iklan sejumlah produk. Ia pun laris menjadi host acara kesehatan di televisi. Mengenai yang satu ini, awalnya Sonia hanya coba-coba saja. “Pasien saya ada yang menawarkan saya untuk membawakan acara Dokter TV di ANTV.Saya coba casting, dan diterima. Rasanya dunia ini cocok buat saya, karena saya orangnya bawel banget, jadi ini merupakan penyaluran hobi dan juga pelampiasan stress saya.” Ujarnya sembari tertawa lebar.

Dari situ, tawaran semakin terbuka lebar. Sonia pun sering ditawari untuk menjadi host acara kesehatan on air maupun off air.


Ia pun tak kaget menjalankan dunia entertainment yang jauh berbeda dengan kedokteran. Karena sejak kecil dirinya aktif mengikuti teater. Sonia pun sudah tidak kagok dengan hal-hal yang berbau entertainment. “Saat SMP dan SMA pun saya kadang jadi model di beberapa majalah. Hanya iseng saja untuk membangun dan melatih rasa percaya diri. Jadi saya sudah cukup terbiasa dengan hal hal yang berbau media.” Jelasnya.

Menurutnya, menjadi host acara kesehatan di televisi sangat banyak memberi manfaat bagi masyarakat. “Dokter kan bertugas untuk mengedukasi pencegahan selain mengobati. Jadi preventif dan edukasi juga merupakan kewajiban saya.” tutur wanita yang hobi menari, teater, dan menyanyi ini.

Selama menjalankan kesibukannya dalam berkarir, kadang ia diprotes oleh sang anak. Tetapi Sonia selalu berusaha untuk memberikan pengertian. Ia pun selalu memprioritaskan keluarga di atas segalanya. Sonia pun selalu menyiapkan waktu khusus untuk kumpul dengan keluarga. “Bagi saya, keluarga adalah nomor satu. Dan kalau bisa ada keseimbangan antara semuanya. Keluarga, pekerjaan, waktu untuk diri sendiri, dan waktu untuk sosial. “ ujarnya.

“I really love my job and my life”


Selama perjalanan karirnya, Sonia terinspirasi dari orang-orang di sekitarnya yang selalu memberikan support secara penuh. “Ayah, ibu dan suami merupakan orang-orang yang berharga dalam hidup saya. Ibu saya sudah meninggal hampir 10 tahun yang lalu. Tapi ia memberikan contoh kasih yang luar biasa yang dapat diberikan oleh seseorang dalam hidupnya bagi orang lain. Ayah saya memberikan support semuanya, dan ia telah berusaha untuk menjadi ayah sekaligus ibu setelah ibu saya meninggal dunia. Ia selalu ada saat saya jatuh dan bersedih. Ia ada kapanpun saat saya butuhkan. Dan suami saya adalah orang yang berhasil membantu saya merubah kekurangan saya menjadi kelebihan.” jelasnya.

Ketika ditanya apakah dirinya sudah merasa sukses, demikian pendapatnya,”. Semua yang saya miliki sekarang adalah anugerah Tuhan. Semua talenta saya, berbagai kesempatan yang datang, Orang orang yang mendukung saya, semuanya adalah anugerah. Dan saya akan berusaha untuk mengembalikan semuanya kelak kepada Tuhan, dengan berbuat sebanyak mungkin untuk sesama. I really love my job and my life.” ujarnya bijak

Kebebasan Berekspresi Sukseskan Jerry Aurum


Menjadi seorang fotografer memang membutuhkan kemauan besar. Semuanya akan berjalan dan tereksplorasi, hingga menjadikan suatu kata. Profesional.

Demikianlah Jerry Aurum mengibaratkannya. Salah seorang fotografer ternama di Indonesia yang begitu yakin dunia tersebut bisa menjadikannya ladang untuk meraup rezeki.

Bakat memotret Jerry didapatnya secara otodidak. Sedari kecil, Jerry tak pernah suka difoto. Ia lebih suka mengutak-atik kamera tua yang sudah tak terpakai lagi di rumahnya. Melihat hal itu, sang ibu membelikannya sebuah kamera saku. Ternyata bakat Jerry pun mulai kelihatan. Jerry lebih suka memotret sesuatu.

Ibunya yang bekerja di perkebunan kerap membawanya pergi keliling Indonesia. Dari Aceh, Medan, hingga Padang. Jerry sangat senang bertualang memotret perkebunan tersebut. “Saya suka ikut ibu untuk hunting foto saat keliling di perkebunan. Dari situ udah mulai tertarik, tetapi belum serius ditekunin.” Ujar pengagum sosok Lachapelle dan Sagmeister tersebut.

Menjadi seorang professional dilakoninya ketika duduk di kelas 2 di SMAN 1, Medan . “Waktu SMA itu, saya pertama kali beli kamera yang serius. Dan kemudian semakin serius lagi waktu tahun 1994 pindah ke Bandung. Saat itu belum kuliah karena nggak tembus ujian.” Katanya sambil tertawa.

Di tahun tersebut, ia semakin menyalurkan bakatnya dengan ikut salah satu klub foto tertua di Indonesia bernama Pehimpunan Amatir Foto. Dari situlah, Jerry memberanikan diri untuk mengikuti ajang lomba foto.

Tak sedikit penghargaan yang berhasil diraihnya. Diantaranya penghargaan dari Salon Foto Indonesia.Jerry juga menjadi salah satu finalis Indonesian Young Creative Enterpreneur of the Year tahun 2007.

Di samping itu, Jerry juga aktif menjadi pembicara dan juri dalam ajang lomba fotografi. Sebut saja, juri di Garuda International Foto Competition, yang diikuti oleh 26 negara. Lalu ia juga menjadi juri dalam lomba logo Indonesia Creative tahun 2008. Sekitar 15 kali dalam setahun dirinya rajin menjadi juri.

Kebebasan berhasil menjadikanya professional



Pada tahun 1995, Jerry mulai kuliah di Institut Teknologi Bandung jurusan Desain Komunikasi Visual. Tamat kuliah di tahun 1999, ia pun bekerja.



Jerry memilih pekerjaan yang berkaitan dengan dunia fotografi dan desain grafis. Selama sekitar empat bulan, ia bekerja pada dua perusahaan desain, Le BoYe dan After Hours.



Setelah itu, ia pun memberanikan diri untuk lebih serius berbisnis di dunia foto dan desain grafis dengan mendirikan perusahaan sendiri. Bulan Maret tahun 2000 akhirnya ia mendirikan Jerry Aurum Design and Photography hingga sekarang.



“Kalau kita punya perusahaan sendiri, jadinya kita tidak membatasi ruang gerak.” katanya



Jerry menghabiskan honor pertamanya untuk membeli satu set kamera seharga 8 juta rupiah. Perusahaannya pun awalnya hanya sebuah kamar kos di bilangan Puri Kembangan, Jakarta Barat.



Namun siapa sangka, dengan profesionalitasnya, Jerry berhasil membesarkan usahanya sampai sekarang.



“Saya bukan fotografer termahal”



Menjadi Director di Jerry Aurum Design and Photography merupakan tantangan tersendiri. Jerry harus pintar-pintar untuk mengelola 7 orang anak buahnya secara baik.



Ketika event besar datang, ia juga harus siap dengan tambahan sekitar puluhan pegawai freelance.



Di mata anak buah, Jerry termasuk sosok yang banyak maunya. Segala keinginannya harus dituruti anak buahnya, hingga tercipta suatu hasil yang sempurna di matanya.



“Saya bukan pemimpin yang gampang diajak kerjasama, dan tidak pernah puas.” Tutur pria single ini.



Jerry juga menegaskan bahwa tak ada jaminan untuk hidup enak dengan menjadi seorang fotografer. “Dunia seni itu dinamis sekali. Manifestasinya up and down. Saat down, finansial belum tentu aman.” Katanya.



Disinggung tentang tarif sekali jepret, Jerry pun enggan untuk berbagi. “Saya bukan fotografer termahal. Masih banyak fotografer lain yang lebih mahal dari saya.” Katanya merendah.

Sukses itu temporary



Ditanya tentang kesuksesannya dalam menekuni dunia fotografi, Jerry pun berpendapat bahwa sukses merupakan keadaan sementara. “Pada saat kita meraih achievements tertentu, itu rasa suksesnya pasti muncul. Tetapi begitu kemudian kita mulai berpikir lagi, next step nya mau ngapain, kita akan jadi kembali merasa jauh dari sukses.” Jelasnya.



Di dunia industri kreatif yang ditekuninya, ia merasa bahaya jika terlena dengan kesuksesan yang diraih saat ini. Kalau hari ini masih sukses, beberapa bulan kemudian merasa masih sukses, berarti ada sesautu yang salah, dan terjadi stagnasi.



Bagi anda yang tertarik terjun di dunia fotografi, Jerry memberikan tipsnya. Yang pertama, anda harus memiliki ketertarikan yang besar terhadap bidang tersebut. Karena sebuah ketertarikan menurutnya akan melahirkan eksplorasi. Dan eksplorasi akan menghadirkan pengetahuan dan ketertarikan baru, hingga akhirnya akan menjadikan seseorang menjadi professional.





Nungki Kusumastuti Dedikasikan Hidup untuk Tari


Mengabdikan hidup pada seni. Itulah yang dilakukan penari dan aktris Nungki Kusumastuti. Sejak dirinya masih kecil, ia sudah diperkenalkan pada dunia seni tari. Lewat tarian tersebut, bakatnya pun terus berkembang ke dunia pendidikan dan juga seni peran.

Jadi penari, aktris, dan juga pengajar merupakan keseharian yang biasa dilakoni Siti Nurhairani Kusumastuti, yang lebih dikenal dengan nama Nungki Kusumastuti. Namun, diantara semua karir tersebut, Nungki lebih klik berprofesi sebagai penari. Bahkan kecintaan pada dunia seni tari membawanya keliling dunia, hingga sempat mendapatkan penghargaan She Can Awards.

“Saya akan melakukan sesuatu di dunia tari sampai sudah tidak mampu lagi, kalau perlu sampai ajal menjemput.” katanya.

Membawa bendera Indonesia hingga kancah internasional membuat Nungki merasa bangga. Namun, hati Nungki sempat terkoyak, manakala di Indonesia, jarang orang memiliki apresiasi besar terhadap sebuah tarian. Padahal, reaksi masyarakat internasional sangat baik untuk mau menikmati seni tari Indonesia.

“Tradisi menari saat ini sudah banyak ditinggalkan masyarakat.” katanya.

Ia pun memiliki pengalaman tak terlupakan saat menari. Tahun 1984, Nungki pergi ke ajang internasional bernama American Dance Festival di North Caroline, Amerika Serikat. Tak disangka, ternyata disana, semua penonton sampai berdiri memberikan applause yang begitu besar.

“Rasanya bangga sekali, karena ternyata pertunjukkan kami dihargai sekali disana.” tutur wanita kelahiran Banda Aceh, 29 Desember 1958 tersebut.


Kenal menari dari orangtua

Mengenal dunia seni tari dijalaninya sejak kecil. Ketika itu, ia baru berusia lima tahun. Namun, Nungki sudah diwajibkan menari oleh kedua orangtuanya, Dr. Sayid Warsito dan Siti Retnorini.

Darah Jawa yang mengalir dari ayah ibunya, membuatnya harus melakoni seni tari. “Karena jaman dahulu, semua anak Jawa diwajibkan bisa menari.” kata wanita yang masih terlihat awet muda tersebut.

Selain itu, orangtua Nungki ingin menumbuhkan apresiasinya terhadap anak-anaknya. Dari mulai menonton seni tari, belajar gerak dan tari, hingga belajar musik. Hal ini kemudian tumbuh menjadi hobi dalam diri Nungki.

Setelah menjadi hobi, Nungki memutuskan untuk menjadi pemikir tari. Ketika itu, ia merasa bisa melakukan sesuatu yang lebih untuk dunia seni tari di Indonesia. Bukan hanya mahir menari, tetapi juga memberikan sesuatu yang berguna bagi orang banyak.

“Saya ingin ada sesuatu yang lebih dan memang berguna bagi banyak orang.” katanya.

Tamat SMU, Nungki melanjutkan pendidikan ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ), mengambil jurusan Seni Tari. Ia pun menjadi Sarjana Seni Tari pertama dalam lingkungan IKJ.

Dari sana, ia pun terus mengembangkan sesautu untuk dunia seni tari. Nungki dan kawan-kawan lantas mendirikan Indonesian Dance Festival. Di sini, ia berperan sebagai salah satu pendiri, dan juga penyandang dana.

“Saya ingin berbuat sesuatu untuk negara ini, tidak tahu apakah itu bisa dilihat orang atau tidak, menurut saya itu tidak penting. Saya hanya ingin melakukan sesuatu, dan ada hasilnya.” terangnya.


Menjajal Seni Peran

Darah seni yang mengalir sejak kecil, menjadikan Nungki jatuh cinta terhadap seni, apapun itu. Setelah mengenal seni tari, ia pun menjajal kemampuannya di seni peran.

Karena sudah diajari akting sedikit-sedikit, maka saat duduk di bangku kuliah, Nungki sudah mulai diajak main film. Rembulan dan Matahari, merupakan film pertamanya, yang dibintangi tahun 1979.

Sejak saat itu, tawaran bermain film pun makin laris hingga saat ini. Beberapa sinetron juga dibintanginya, salah satunya ialah Sinar, yang saat ini tayang di salah satu stasiun televisi swasta.

Seperti sinetron lain, Nungki berperan sebagai orang miskin. “Sepertinya karakter orang miskin memang cocok diperankan oleh saya, mungkin karena badan saya kurus ya.” katanya sambil tertawa.

Mengenai akting, Nungki juga tak mau melakukannya setengah-setengah. Menurutnya, dalam satu film atau sinetron, melakukan akting harus total, baik itu sebagai pemeran utama, ataupun pemeran pembantu.

“Berakting harus total. Karena itu yang harus dijual dan akan membuat film Indonesia laku dan sang artis bisa berkelanjutan hidupnya di lahan keartisan film.” katanya.

Dedikasikan Hidup untuk Dunia Tari

Ditanya mengenai arti kesuksesan, Anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 1993-1996 dan 1997-2000 ini hanya tersenyum. Menurutnya kesuksesan merupakan penilaian orang lain.

“ Saya memang kebetulan diberikan kesempatan oleh Allah untuk melakukan banyak hal. Saya hanya melakukan saja. Dan kalau merasa sudah tidak bisa, ya sudah. Tetapi kalau tari, ini sudah jadi bagian yang mendarah daging. Dan saya ingin mendedikasikan hidup untuk tari.” terangnya.

Bagi anda yang tertarik menjadi penari professional, kuncinya mudah saja. Menurut Nungki, modal utama hanyalah minat dan niat. Dari situ, nanti akan berkembang, dan menjadi sebuah bakat, sehingga mnejadi suatu skill, yang diasah sedemikian rupa, sehingga akan melahirkan suatu mental yang baik, dan berkomitmen terhadap profesinya.

Dedikasi total pada dunia seni membuat Nungki Kusumastuti masih punya tempat di hati penikmat seni nasional dan internasional.