Kamis, 12 Januari 2012

Ramli dan Bordir

Ramli Sarwi Gozali Kartowidjoyo atau lebih dikenal dengan sebutan Ramli adalah salah satu desainer ternama pada tahun 70-80an. Pria ramah berusia 69 tahun ini memiliki ciri khas rancangan yang selalu menggunakan sulaman atau bordir dan aplikasinya. Belakangan, karya batik juga mulai melekat pada dirinya.

Rancangan Ramli tidak hanya dikenal di tanah air saja, tetapi juga merebak ke mancanegara. Rancangannya sering digelar di kota-kota besar di Asia, Australia, Timur Tengah, Eropa, Amerika, Amerika Latin, dan Jepang untuk mempromosikan kebudayaan serta pariwisata Indonesia.



Jualan Bihun Goreng

Siapa sangka Ramli kecil dulunya lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya Gozali Katowidjoyo (alm) ialah seorang PNS, sementara ibunya Sarwi (alm) seorang ibu rumah tangga yang ulet. Ramli merupakan anak bungsu dari 7 bersaudara.

Sebagai anak bungsu, Ramli kerap mendapat julukan anak mami. Pasalnya ia sangat dekat dengan sang Ibu. Sejak kelas 1 SD, Ramli sangat rajin membantu orangtua untuk menopang hidup keluarga. Ibunya yang gemar memasak suka menitipkan aneka makanan kepadanya. Ia lalu menjualnya saat istirahat di sekolah.

Ramli sangat ulet dalam berjualan. Sosoknya yang supel membuat dagangannya laris terjual. Dari bihun goreng sampai kue mambo selalu habis dibeli teman-temannya. Dalam sehari Ramli bisa mengumpukan uang 10-50 sen. Uang hasil jerih payahnya lalu ia kumpulkan untuk membeli bahan pakaian.

Keluarga sudah mengenal Ramli sebagai sosok yang cerewet dalam urusan penampilan. Ayahnya yang suka mendapat oleh-oleh dari rekan kerjanya berupa kain, selalu dicoba terlebih dahulu dan minta dijahitkan oleh sang ibu.

Pada usia 7 tahun, jiwa stylist Ramli mulai timbuh. Ia sudah mendikte ibunya dalam berpenampilan, dan suka berkreasi dengan aneka bahan yang ia belanjakan. “ Kalau bahannya tidak cukup, saya minta Ibu untuk menambal dengan bahan lainnya, dimodifikasi lah, tapi Ibu biasanya tidak mau, katanya nanti jadinya aneh,” kenangnya sambil tertawa.


Top di 70an

Tahun 1968, pria berkulit putih ini lulus SMU. Selepas sekolah, Ramli tidak melanjutkan ke bangku kuliah. Namun ia rajin mengikuti aneka kursus. Paling sering ia mengambil kursus menjahit. Dari sinilah tercipta aneka busana karyanya.

Tahun1970, Ramli rajin mengikuti show dengan para desiner yang sedang berjaya kala itu, seperti Ghea Panggabean. Show perdana Ramli mulai tahun 1975 di Petroleum Club, Jakarta.

Ini merupakan langkah awal Ramli dalam dunia peragaan dan pameran, yang kemudian diikuti dengan berbagai peragaan dan pameran hampir di seluruh kora besar di Jakarta.

Kesuksesan Ramli dalam menggelar aneka show tidak dibarengi dengan kesuksesan materi. Ia masih mengontrak rumah di daerah Kemayoran seharga 150 ribu rupiah/bulan. Setelah itu ia pindah ke jalan Proklamasi, Menteng atas anjuran Lilis Suryani (alm), sahabatnya.

Ayah dari Rizki Amelia (25) ini lalu mengontrak rumah tersebut selama setahun dengan biaya sebesar 1 juta rupiah. Ramli pun mendapatkan banyak pelanggan. Diantaranya Mien Uno.

Lewat Mien Uno, Ramli lalu diperkenalkan dengan para pejabat tinggi. “Saya bisa beli rumah karena jasa ibu Mien Uno yang memperkenalkan saya pada direktur bank. Lewat situ, saya jadi bisa pinjam uang, dan alhamdullilah lunas dalam 3 tahun,” ceritanya sambil menyeruput teh. Rumah sekaligus butik di Jalan Semarang no.1, Menteng inilah yang ia tempati hingga sekarang.


Identik dengan Bordir


Ramli semakin lama identik dengan bordir dan batiknya. Orang sering mengatakan bahwa bordir ialah Ramli begitu pula sebaliknya.

Untuk segala jerih payahnya, pada tahun 1998, pria yang pernah bercita-cita menjadi dokter ini mendapatkan penghargaan APAREL, dalam koleksi pakaian jadi terlaris tahun 1987-1988 dari kelompok redaktur mode melalui media massa ibukota.

Untuk mengembangkan bordir, Ramli telah banyak pula memberikan pengarahan kepada para pengrajin di daerah, seperti Tasikmalaya, Kudus, Aceh, Padang, Palembang, Kalimantan, Jambi, Riau, Jawa, dan Lampung.

Karirnya pun berjalan lancar. Ramli mulai memiliki sekitar 80 karyawan di tahun 70-80an. Namun seiring merebaknya krisis ekonomi global, kini karyawan Ramli terpangkas menjadi 40 orang.

Atas andil Ramli, pada tahun 1990, pemerintah memberikan penghargaan Upakarti yang disampaikan alm.mantan presiden Soeharto. Penghargaan lain ialah keberhasilannya melestarikan kebudayaan Betawi lewat busana yang didapatnya dalam penghargaan Adikarya Wisata pada tahun 1997-2001.

Sebagai perancang busana, ia memperluas bisnisnya dengan mendirikan Ram Sarwigo Event Organizer yang bergerak dalam bidang peragaan busana dan pameran. Beberapa peragaan besar yang pernah ditangani, antara lain, penghargaan busana Pierre Cardin dari Paris, Peragaan busana tahunan Prajudi di tahun 1992, dan The ASEAN Best Dresses pada tahun 1993.

Sejak 1999 sampai sekarang Ramli aktif melaksanakan pemilihan model Indonesia, peragaan busana muslim para Abang None Jakarta. Selain itu, ia juga menangani peragaan busana dalam acara Yayasan Kanker DKI Jakarta yang dipimpin Ny Wiyogo Atmodarminto, Sarjadi Sudirja, Rini Sutiyoso, dan peragaan busana di Jepang untuk Pemda Riau, Jakarta Society Breast Cancer yang dipimpin oleh Linda Agum Gumelar dan Yayasan Batik Indonesia yang dipimpin Ny. Gianjar Kartasasmita.

Hidup dengan Ikhlas

Ditanya arti kesuksesan, dengan rendah hati Ramli menampik bahwa dirinya tidak sebesar itu.” Publik yang menilai saya sukses atau tidak. Saya hanya menjalankan pekerjaan dengan enjoy dan tidak ngoyo, tidak terasa ternyata karya saya masih ada peminatnya,” tuturnya sambil tersenyum.

Ramli juga mengaku ikhlas dalam menjalani hari-harinya. “Barang itu bisa dicari lagi, yang terpenting hati harus bersih,” tutur pria yang rumahnya pernah terbakar di tahun 2000 ini.

Ia pun memiliki tips bagi anda yang tertarik menjadi desainer. “Untuk menjadi seseorang itu dikenal, buatlah sesuatu beda,” ujar pria yang selalu menyempatkan diri berkumpul dengan keluarga di waktu luang ini. Ramli menegaskan bahwa banyak budaya Indonesia yang belum tersentuh dan bisa dikreasikan. Dengan demikian itu akan menjadi kebanggaan tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar