Rabu, 11 Januari 2012

Novita Tandry, Sang Pejuang Pendidikan

Sosok pahlawan bukan hanya berlaku bagi para pejuang kita di masa lalu. Lewat kontribusinya yang besar di bidang pendidikan, Novita Tandry layak disejajarkan sebagai salah satu pejuang di era modern. Siapa sih dia?


Pahlawan biasanya identik dengan para pejuang yang mati-matian membela negaranya pada waktu jaman kemerdekaan. Namun, salah satu wanita ini bisa dijadikan sebagai pahlawan di era masa kini. Dia adalah Novita Tandry, President dan Managing Director dari Tumble Tots Indonesia.

Tumble Tots merupakan salah satu franchise pre-school dengan cakupan 43 cabang di seluruh Indonesia. Beberapa daerah yang dicakupnya meliputi Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Bali.

Lewat perjuangannya memajukan kecerdasan bangsa, Novita memilih mengabdikan diri di bidang pendidikan, untuk membuat program pendidikan anak-anak dan bayi.

“Saya ingin semua anak di Indonesia itu tumbuh jadi anak yang pintar,” demikian obsesinya ketika itu.

Tak sembarangan bukti eksistensinya di bidang pendidikan. Lewat jasanya terhadap dunia pendidikan, Novita berhasil meraih berbagai penghargaan. Salah satunya, menjadi salah satu finalis dalam acara Ernst and Young Entrepreneurial Winning Women. Ia juga masuk dalam kategori 10 The Most Powerful Women 2008 versi SWA Magazine, dan juga 10 The Inspired Women 2009 versi Tabloid Wanita Indonesia.

“Saya bangga sekali. Karena bisa bertemu dengan wanita-wanita tangguh. Tetapi saya tak mau berhenti di situ. Karena semakin anda dikenal sebagai salah satu entrepreneur, berarti tanggung jawab dan beban justru lebih berat,“ katanya menjelaskan.

Apa yang menyebabkan Novita berhasil meraih berbagai penghargaan tersebut?


Cinta anak-anak

Dari kecil, Novita memang cinta terhadap dunia anak-anak. Ketika tinggal di Makassar, ia kerap mengumpulkan keponakan. Sekedar membacakan dongeng untuk mereka, memotong kuku, hingga mendandani anak-anak.

Berlanjut ke bangku SMP, ia mulai mengajar sekolah minggu di Gereja Kristen Indonesia, Makassar. Di sana, anak-anak diajarkan untuk bernyanyi dan belajar agama.

Dari situ, cintanya terhadap anak-anak mulai melebar. Ia lantas ingin mendirikan sekolah sendiri.

Usai merampungkan pendidikannya di University of New South Wales, Sydney, Australia tahun 1992, Novita memutuskan untuk menikah dan menetap di Singapura. Ia lalu melanjutkan sekolahnya di London Montessori International, Inggris tahun 2002.

Setelah memiliki anak, ia tertarik untuk memasukkan anaknya di sebuah pre -school. Anaknya yang pemalu, lantas berubah sedikit demi sedikit. Ia menjadi percaya diri. Wanita cantik tersebut akhirnya tertarik dengan program sekolah itu.

Akhirnya, ia memutuskan untuk membuka sekolah di Indonesia. Pendidikan anak-anak di Inggris, Singapura, dan Australia, yang pernah dilihatnya ternyata jauh berbeda dengan di Indonesia.

Atas alasan itulah, Novita memutuskan untuk memegang hak master franchise Tumble Tots, sebuah pre -school terkemuka di Inggris.

Sebagai wanita yang baru berusia 21 tahun ketika itu, tentu saja membuat General Manager Tumble Tots worldwide 'mikir-mikir'.

Untuk tahap percobaan, Novita lantas disarankan untuk membuka satu cabang di Indonesia. Akhirnya, ia pun membuka sekolah tersebut di kawasan Plaza Blok M. Awalnya, ia berjuang sendirian untuk mendirikan sekolah tersebut.

Mulai dari membuat kurikulum, mengadakan pendekatan dengan pihak-pihak terkait, mengurus ijin dari RT/RW sampai Depdiknas, menyebarkan brosur di perempatan lampu merah dan mall, sampai menjadi petugas kebersihan, karena harus menyapu dan mengepel setiap hari. Semua dikerjakannya sendirian, demi cita-citanya membangun sekolah bagi anak-anak usia dini.

“Awalnya muridnya Cuma 20 orang,” tutur ibu empat anak tersebut.

Tapi siapa sangka, tahun 1994, ia berhasil memegang Master Franchise Tumble Tots Indonesia hingga saat ini. Tumble Tots pun berkembang dan memiliki 43 cabang di seluruh Indonesia.

Ingin Cerdaskan Anak-Anak Pelosok Tanah Air


Image pendidikan hanya untuk yang berduit, ternyata begitu dirasakan Novita. Ia miris melihat pemerintah yang mengesampingkan kualitas sekolah yang tidak layak untuk dijadikan tempat belajar.

“Di Singapura, semuanya diperhatikan dengan begitu teliti. Dari luas bangunan, kurikulum, sampai toilet, dan ventilasi. Ini yang harus dilakukan oleh Mendiknas kita. Saya bingung kadang melihat garasi mobil bisa dijadikan sekolah. Itu kan tidak ada standarisasinya. Semua persyaratan hanya basa-basi, kalau ternyata ujung-ujungnya pendidikan hanya untuk yang punya uang, “ tegasnya yang begitu berharap dukungan pemerintah di bidang pendidikan.

Atas perhatiannya yang begitu besar terhadap pendidikan anak-anak, Novita sampai memikirkan pendidikan orangtua dan pengasuh yang biasa melakukan kekerasan terhadap anak-anak, seperti mencubit atau membentak anak-anak di depan matanya.

Sukses Menjadi Ibu yang Baik

Kesuksesan tak lahir begitu saja. Sukses lahir dari dukungan orang-orang terdekat. Ditanya arti sukses, Novita hanya ingin menjadi ibu yang baik bagi suami dan keempat anaknya.

“Kalau orang sukses, tetapi keluarganya berantakan, itu tidak ada artinya. Jadi menurut saya, sukses itu harus seimbang antara karir dan keluarga. Malah, keluarga nomor satu buat saya. Tanpa itu, namanya bukan sukses,” jelas istri Johannes Ongkowidjojo tersebut.

Novita juga menganut folosofi “Life is so Short” . Karena itu, dari sekarang, urusan keuangan menjadi nomor dua buatnya. Ia ingin mengembangkan keahliannya di bidang pendidikan yang dapat memberikan manfaat untuk orang banyak. Di samping, selalu menjadi istri dan orangtua yang baik bagi keluarganya.

“Saya hanya bekerja dengan seluruh kemampuan yang saya miliki. Yaitu leadership, bekerja sama dengan tim yang baik, dan bertanggung jawab. Apalagi bergerak di bidang pendidikan," terangnya.

Mungkin di Indonesia begitu banyak orang yang memiliki visi seperti Novita. Nah, untuk itu, dukungan terhadap dunia pendidikan memang harus di support oleh semua pihak. Dan Novita, merupakan salah satu wanita yang layak mendapatkan gelar pejuang pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar